Psikologi Film Komedi : “Game Night”

Psikologi Film Komedi : “Game Night” – Malam minggu yang diacarakan sebagai malam untuk bermain bersama keluarga atau sahabat tercinta selalu memancing asa akan keseruan dari keberuntungan tak terduga dan kebanggaan tersendiri jika banyak menggali kemenangan. Beberapa orang sudah puas dengan bersenang-senang, namun ada pula mereka yang tak akan bisa tidur malamnya hanya karena tidak menang secara mutlak, apalagi menelan kekalahan.

Game Night, sebagai film yang mengedepankan tajuk “malam bermain” ini, pun menyalurkan spirit keseruan dan ketakterdugaan, senada saat kita menunggu barisan huruf yang tepat saat bermain scrabble atau berharap dadu yang dikocok menghasilkan angka yang pas saat bermain monopoli, serta jiwa-jiwa bersaing yang saling berseteru untuk meneguk kemenangan. https://www.queenaantwerp.com/

Berbicara soal jiwa bersaing, perangai ini umumnya tumbuh di lingkungan sekolah, komunitas hobi, atau yang lebih luas, namun yang paling menyisakan bekas hingga di masa dewasa adalah sifat kompetitif yang lahir dari lingkungan keluarga. Jiwa bersaing ini dapat muncul dari pengaruh langsung orang tua kepada anaknya untuk menjadi yang terbaik sejak dini, atau ada pula yang tumbuh alami dari kecemburuan akan saudara yang boleh jadi lebih tampan, cerdas, disukai, dan lain-lain. Max, tokoh utama Game Night, adalah pengidap dari contoh kedua, dimana baginya sang kakak Brooks, bagaikan puncak tinggi yang mustahil ditaklukkan. https://www.queenaantwerp.com/

Psikologi Film Komedi : “Game Night”

Pada awalnya, Max diperkenalkan dalam sebuah permainan uji pengetahuan umum, memancarkan kepercayaan diri dan kecongkakan yang berseri. Malam itu juga, ia bertemu dengan calon istri yang sama-sama pemimpin regu dan sama-sama kompetitif, Annie, dan semenjak saat itu mulai menggelar acara bermain pada malam yang senggang bersama keluarga, tetangga, dan siapa pun yang bersedia dipecundangi mereka. Selang beberapa tahun, mereka tampak memiliki segalanya, dengan rutinitas malam minggu yang mengasyikkan, hingga berbagai masalah mulai muncul. Max dan Annie belum mampu membuahkan bakal bayi karena kualitas spermanya yang menurun, yang sedikit banyak dipengaruhi stres akan kedatangan kakaknya Brooks, seorang penanam modal sukses yang kehidupannya menjadi bahan bakar iri semua orang, tak terkecuali Max. Setelah seperti biasa mengalahkan (mempermalukan, lebih tepatnya) adiknya di kandang sendiri, Brooks menawarkan permainan yang tarafnya lebih berisiko dan tak akan terlupakan, sebuah misteri penculikan yang direkayasa begitu nyata. Brooks menjadi “korbannya” saat itu, dan para grup segera mencari petunjuk-petunjuk untuk menemukannya, dengan anggapan bahwa ini hanyalah sebuah permainan. Apakah benar seperti itu?

Konflik utama film ini adalah perseteruan antar Max dan Brooks, namun karakter-karakter pendukung lainnya pun memiliki konflik tersendiri sepanjang cerita sehingga tidak menjadikan mereka sekadar tempelan belaka. Mari kita mulai dengan grup lingkaran kecil Max dan Annie, Ryan si tukang gonta-ganti pacar tiap minggu, dan pasangan manis Kevin dan Michelle yang telah menikah saat berumur 19 tahun. Ryan adalah lulusan Harvard yang anehnya begitu bebal, kekanak-kanakan, dan payah dalam membaca suasana. Pada malam permainan yang diselenggarakan Brooks, ia menggandeng penyelia dari perusahaannya bernama Sarah. Ia membawanya untuk meningkatkan peluangnya menang dan sama sekali tidak tertarik karena bukan tipenya (pacar-pacarnya yang terdahulu memiliki kesamaan tipe sebagai si pirang yang sangat mungkin lebih bebal darinya). Di tengah jalan, justru ialah yang jatuh hati oleh ketajaman akal Sarah. Sementara itu, pernikahan langgeng Kevin dan Michelle teruji ketika saat bermain never have I ever, Michelle ketahuan pernah tidur dengan seorang selebriti, meski mereka berdua sudah menjalin hubungan dari umur 14 tahun. Diperkenalkan sebagai pasangan yang jauh lebih mesra dari Max dan Annie, mereka menghabiskan malam saling berdebat dan menyinggung secara jenaka tentang kesetiaan antar satu sama lain, yang terselesaikan dengan konklusi yang cukup unik.

Ada pula seseorang yang secara halus menjadi “mantan teman” karena pembawaannya yang agak canggung dan menyeramkan, seorang petugas polisi bernama Gary yang diceraikan oleh Debbie, sang istri. Gary selalu berharap untuk diajak bermain oleh para grup seperti dulu ketika masih beristri, namun jelas bahwa sang istri adalah bagian dari lingkaran pertemanan dimana Gary ‘terpaksa’ masuk sebagai pasangan hingga perceraian. Gary sendiri belum bisa mengikhlaskan, masih membingkai pernak-pernik pernikahannya bersama Debbie. Memang dengan pembawaan demikian, semua orang pasti risih bersama dengannya, dan ia tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahuinya, sehingga ia melakukan sebagaimana keahlian seorang polisi, yaitu investigasi, infiltrasi, dan sabotase. Penculikan Brooks adalah idenya demi menyodorkan fakta bahwa ia adalah orang yang cukup keren untuk ikut serta dalam malam bermain. Akan tetapi, dibalik kedataran emosi, Gary adalah individu yang hatinya perih karena setelah ditinggal istri, ia pun dicampakkan oleh mereka yang ia selalu anggap sebagai sahabat-sahabat terdekat yang terhubung oleh serunya bermain. Tentunya kita semua pernah berada dalam fase yang sama seperti si polisi yang tidak pernah melepas seragamnya ini.

Psikologi Film Komedi : “Game Night”

Teman-teman Max dan Annie lebih banyak menghadapi aspek fase pernikahan mulai dari pendewasaan diri (Ryan), kejujuran dalam pernikahan (Kevin dan Michelle), dan kerelaan untuk melanjutkan hidup (Gary). Brooks? Ia mengaku sebagai penanam modal sukses dengan harta benda yang dapat menopang argumennya, namun ia hanya seorang penyelundup kelas kakap yang telah lihai dalam praktik menipu semenjak kecil, korbannya siapa lagi kalau bukan Max. Terbiasa menang curang dan selalu berada di atas angin sejak kecil, Brooks mulai menghadapi realita ketika mereka beranjak dewasa. Max mendaftarkan diri di kampus, memiliki pekerjaan yang mapan, dan menikahi wanita idaman. Sisi inferior Brooks mulai menjerit, sehingga ia mengambil langkah ekstrim untuk selalu lebih tinggi daripada Max, bermain di dunia bawah untuk mengadu peruntungan hidup yang lebih baik. Ia berhasil menjalani hidup seperti itu, dan ia juga berhasil mengelabui Max, namun di lubuk hati, Brooks sadar bahwa ialah sang pecundang di antara mereka berdua.

Ada sebuah metafora dari Max yang diungkapkan kepada Annie di pertengahan film. Mereka sebelumnya sudah berlomba main Pac-Man untuk mengalahkan skor tertinggi, dan mereka berhasil bertahan selama mungkin karena hanya memakan pil, bukan buah. Jika memakan buah, hantu-hantu akan terprogram untuk mengejar mereka dengan lebih intens. Namun, bertahan dengan strategi itu pun tak kunjung membuat mereka menggeser papan nama di posisi pertama. Pil-pil itu merupakan kebahagiaan Max dan Annie tanpa perlu buah hati, sementara pemegang skor tertinggi adalah Brooks sendiri. Jika mereka mengincar buah (buah hati), maka kemungkinan untuk mencapai skor tertinggi semakin kecil, dan mereka harus puas hidup dalam kebahagiaan yang menurut Max medioker, pada posisi pertengahan tanpa mencicipi apa yang dikecap Brooks. Annie memutarbalikkan metafora ini, beropini bahwa permainan dengan pil itu adalah usaha Max yang jujur, sementara melibatkan buah artinya bermain-main dalam sisi hitam dunia, dan itulah mengapa para hantu mengejar Brooks.

Penuaan, stagnansi hidup, membangun keluarga, dan sifat bersaing yang destruktif. Game Night membungkus itu semua dengan keseruan yang membuat saya tidak menyadarinya, baru perlahan meresap ketika permainan telah usai. Hidup pun memiliki permainan yang dapat kita perlakukan dengan mata berbinar, seringai percaya diri, atau urat saing yang tegang, namun pada akhirnya tiap permainannya pasti memiliki suatu pelajaran. Brooks dan Max telah bermain dan berseteru seumur hidup mereka yang dipendam dalam hati, hingga mereka tak memiliki wawasan untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Brooks senantiasa berikhtiar menyamakan dirinya dengan Max dalam segala cara untuk menerima pengakuan dari diri dan Max, padahal mungkin ia memubutuhkan khidmat tulus dari sang adik. Max, selama ini juga berusaha untuk meraih apa yang Brooks miliki dari luar, namun tidak pernah menyadari apa yang sebenarnya ia punya lebih kaya dan berarti, hasil dari sikap bersaing yang sehat. Kegelisahan diri yang disangka dapat dipuaskan dengan saling berlomba-lomba telah pudar, dan permainan di malam minggu bersama keluarga dan kerabat digelar Semata-mata untuk bersenang-senang.