Menghadapi Sikap Radikalisme Dengan Humor

Menghadapi Sikap Radikalisme Dengan Humor – Suatu saat Gus Dur membuka ceramah. “Bapak Ibu, marilah kita panjatkan syukur kepada Allah.” Gus Dur terdiam sejenak, lantas melanjutkan. “Sebab syukur tidak bisa memanjat sendiri.” Geerrr jemaah pun tergelak mendengar candaan Presiden ke-4 Indonesia yang terkenal memiliki selera humor di atas rata-rata itu.

Asef Bayat, seorang sosiolog dari University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat, mengatakan bahwa ada gejala yang mengkhawatirkan dalam tubuh umat Islam akhir-akhir ini, yaitu semakin hilangnya budaya berkelakar. idn play

Padahal, kebiasaan atau tradisi berhumor penting untuk mengurangi ketegangan dalam beragama. americandreamdrivein.com

Menurut Bayat, salah satu ciri dari kelompok fundamentalis adalah hilangnya ‘fun’ dalam hidup merseka. 

Menghadapi Sikap Radikalisme Dengan Humor

Kata-kata Bayat tersebut sekilas seperti bercanda, tetapi sebetulnya memiliki arti yang sangat serius. Hilangnya selera humor dari suatu kelompok, terutama kelompok agama, bisa berdampak serius bahkan berbahaya karena dapat membuat umat semakin tegang, stres, sensitif, dan ujung-ujungnya mudah diprovokasi.   

Mungkin ini bisa jadi subjektif, tapi dari pengalaman Asep bergaul dengan banyak orang dari beragam latar belakang, Asep menemukan ciri yang nyaris sama dari mereka yang memiliki paham dan pandangan ekstrem dalam beragama, yaitu mereka cenderung tidak memiliki selera humor yang baik.

Mereka lebih tertarik memandang kehidupan yang sementara dan majemuk ini dengan kacamata yang menegangkan, penuh curiga, dan hyper-sensitive.

“Salah satu ciri dari kelompok fundamentalis adalah hilangnya ‘fun’ dalam hidup mereka.”

Islam dan Tradisi Berkelakar

Dalam tradisi Islam, humor bukan hal terlarang, bahkan sebaliknya, merupakan bagian inheren dari konstruksi sosiologis umat. Berbagai rujukan bahwa humor merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi umat dapat dilihat dari banyak hadis nabi atau kisah para sahabat yang memiliki kandungan humor. 

Dalam satu riwayat misalnya, pernah dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW tertawa sampai gigi gerahamnya terlihat karena bercanda dengan para sahabatnya (Roseanthal: 1956). Pada bagian lain, kita juga dapat menemukan kisah bahwa Nabi terbiasa bercanda dengan sepupunya, Ali bin Abi Thalib, tentu dengan candaan yang bernas dan bermutu, bukan candaan yang mengolok-olok, apalagi menghina. 

Jika kita melihat lagi dalam sejarah Islam abad pertengahan, kita juga akan mudah mendapati bahwa dalam setiap zaman, masyarakat selalu memerlukan tokoh-tokoh komedian (atau tepatnya satiris) terlepas dari apakah mereka fiktif ataupun nyata. Kehadiran mereka diperlukan, bukan hanya untuk mengurangi ketegangan di masyarakat, tetapi juga untuk mengkritik berbagai problem sosial di sekitarnya. 

Kita, misalnya, mengenal tokoh-tokoh komedi-satire seperti Abu Nawas di masa Khalifah Harun Al Rashid dari Dinasti Abassiyah. Demikian juga pada masa Turki Utsmani, kita mengenal satiris Nasharudin Hoja yang terkenal dengan kritik sosial yang ia sampaikan melalui humor yang cerdas.

Atau dalam konteks yang lebih lokal, Indonesia pernah memiliki tokoh Mukidi yang entah nyata atau fiktif, namun tokoh ini dipandang berhasil melancarkan kritik cerdasnya melalui candaan yang segar.

Kelakar yang Makin Hilang

Lantas mengapa kian hari selera humor umat Islam kian rendah?     

Menurut Franz Roseanthal, penulis buku Humor in Early Islam (1956), semakin rendahnya selera berhumor umat Islam berjalan seiring menjalarnya paham Wahabi yang semakin membesar di awal abad ke-20. Kebiasaan kelompok Wahabi untuk hanya mengutip ayat atau hadis yang keras dan mengancam sangat mempengaruhi cara pandang kelompok ini terhadap humor.  

Semakin menguatnya kelompok literalist (puritan) yang menyandarkan pemahaman agamanya melulu pada teks (tanpa melihat konteks), juga turut membuat kelakar tentang apapun (terutama hal-hal yang terkait agama dan sosial) menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Kelompok literalist, misalnya, akan dengan mudah menganggap humor sebagai barang haram karena dianggap mengeraskan hati.

“Semakin rendahnya selera berhumor imat Islam berjalan seiring menjalarnya paham Wahabi yang semakin membesar di awal abad ke-20.”

Oleh mereka, ayat-ayat kitab suci pun kerap dinukil dengan tafsir yang seadanya. Seperti kutipan ayat yang mengatakan, “Fal yadh haku qalila wakyabku katsira (hendaklah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis)”, kerap digunakan untuk melarang humor.

Hal yang jelas salah kaprah karena ayat tersebut hadir untuk mengingatkan manusia agar banyak melakukan introspeksi (muhasabah) dan lebih peduli kepada sesamanya yang tidak beruntung, bukannya untuk melarang humor. 

Humor dalam Perkara Agama

Asef Bayat merasa beruntung tumbuh dan besar dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini memiliki tradisi yang cukup baik dalam membuat kelakar, termasuk anekdot dalam perkara agama.

Menghadapi Sikap Radikalisme Dengan Humor

Tentu tidak sempurna jika kita membahas humor dalam tradisi NU tanpa menyebut nama Gus Dur. Tokoh pembaharu yang kontroversial ini adalah produsen humor nomor wahid di kalangan jemaah NU. Simaklah salah satu humor cerdasnya berikut ini:

Suatu saat, para pendukung Gus Dur yang sudah terlanjur marah mengadu kepada cucu Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari itu terkait banyaknya kelompok ekstrem yang mengkafir-kafirkan Gus Dur. Orang-orang ini dengan antusias memanas-manasi Gus Dur.

“Gus, ada yang mengkafir-kafirkan njenengan, gimana ini?” Bukannya marah atau tersinggung, Gus Dur malah dengan enteng menjawab, “Lho ya enggak apa-apa, tinggal ngucapin dua kalimah syahadat lagi, sudah Islam lagi.”

Selera humor seperti yang dimiliki Gus Dur ini semakin hari semakin langka untuk ditemui di jaman yang semakin berkembang ini. Umat Islam akhir-akhir ini cenderung lebih memiliki perasaan sensitif dan mudah dibakar emosinya, apalagi jika menyentuh humor dalam perkara agama dan biasanya juga mereka menyebutnya sebagai penistaan agama terhadap orang yang telah berani melakukan humor dengan menyangkut pautkan nama agama.

Dalam konstruksi masyarakat yang serba sensitif seperti itu, tentu akan banyak candaan dalam perkara agama yang sebenarnya remeh tiba-tiba menjadi sangat serius dan menjadi masalah bahkan terpaksa harus diselesaikan di meja hijau karena terlanjur dianggap sebagai bagian dari pelecehan atau penistaan agama yang sudah tidak dapat dilakukan jalur perdamaian.

Epilog

Percaya atau tidak, Asep berpendapat bahwa dengan adanya selera humor termasuk yang percaya bahwa humor adalah cara yang ampuh untuk meredam fundamentalisme, ekstremisme, atau bahkan radikalisme beragama. Bagi saya, mereka yang memiliki selera humor, satire, atau kemampuan menertawakan diri sendiri nyaris mustahil memiliki pandangan kehidupan (beragama) yang ekstrem.

Humor atau kelakar yang telah di maksudkan tentu saja bukan humor yang mengolok-olok atau menghina fisik seseorang, tetapi humor yang cerdas, orisinal, dan bermutu. 

Saat ini tidak dapat membayangkan agama yang tidak memiliki tradisi berhumor atau berkelakar, pastilah agama semacam itu akan cepat berlumut dan terasa begitu membosankan bagi sebagian pemeluk agamanya ataupun pemeluk agama lain. Humor sangat diperlukan untuk dapat kembali  menyegarkan hati dan juga pikiran yang mumet, dan ini penting sebagaimana pernah dikatakan oleh Nabi, berbunyi  “Refresh your hearts periodically, for if they get dull, they become blind”.